Sabtu, 16 Februari 2008

butir kompetensi arsitek

a.r.s.i.t.e.k ... have to do

(Ability to create architectural designs that satisfy both aesthetic and technical requirements, and which aim to be environmentally sustainable.)

(Adequate knowledgeof the history and theories of architecture and related arts, technologies, and human sciences.)

(Knowledge of the fine arts as an influence on the quality of architectural design.)

(Adequate knowledge on urban design, planning, and the skills involved in the planning process)

(Understanding of the relationship between people and buildings and between buildings and their environments, and of the need to relate spaces between them to human needs and scale.)

(An adequate knowledge of the means of achieving environmentally sustainable design.)

(Understanding of the profession of architecture and the role of architects in society, in particular in preparing briefs that account for social factors.)

(Understanding of the methods of investigation and preparation of the brief for a design project.)

(Understanding of the structural design, construction, and engineering problems associated with building design.)

(Adequate knowledge of physical problems and technologies and of the function of buildings so as to provide them with internal conditions of comfort and protection against climate.)

(Necessary design skills to meet building users requirements within the constraints imposed by cost factors and buildign regulations.)

(Adequate knowledge of the industries, organizations, regulations, and procedures involved in translating design concepts into buildings and integrating plans into overall planning.)

(Adequate knowledge of project finacing, project management and cost control.)

Kamis, 14 Februari 2008

RUANG PUBLIK UNTUK PUBLIK

RUANG PUBLIK BAGI PUBLIK

Ruang Publik dan Perkembangan Kota Diskursus tentang ruang publik sepertinya tidak akan pernah habis seiring dengan dinamika publik itu sendiri yang terus berubah. Dalam hal ini, publik sebagai suatu entitas tidak dapat diartikan sekedar dengan istilah ‘masyarakat umum’ yang merepresentasikan suatu kepentingan saja. Tetapi harus dapat dipahami pula bahwa publik merupakan kumpulan dari entitas-entitas independen yang memiliki pendapat, kepentingan, maupun karakteristik masing-masing yang sering satu sama lain tidak bersesuaian bahkan saling bertentangan.

Pada kondisi seperti ini, pembahasan ruang publik akan semakin kompleks karena menyangkut pada upaya sinergisasi atau proses pencapaian konsensus dari berbagai kepentingan tersebut. Sebagai salah satu unsur terpenting dalam struktur ruang kota secara keseluruhan, ruang publik tidak dapat dilepaskan dengan proses perkembangan kota itu sendiri. Kota yang merupakan satuan organik karena terus tumbuh melalui hasil ‘kompromi’ dari berbagai heterogenitas yang hidup di dalamnya, memiliki ciri dan karakteristik yang khas dimana setiap individu yang berbeda memiliki posisi yang sama penting dalam menentukan arah kebijakan bersama. Bahkan ciri inilah yang sebenarnya menjadi pembeda utama antara kota (urban) dan desa (rural) yang secara esensial lebih bersifat homogen, terepresentasikan dalam wujud komunal dan bukan individual, serta terikat oleh tali persaudaraan/kekeluargaan yang kuat (kinship). Bahkan Aristoteles menyatakan bahwa “Kota terbentuk dari berbagai macam manusia, kelompok manusia yang sama tidak dapat mewujudkan eksistensi kota.”

Perbedaan atau diversitas sebagai karakteristik kota tersebut, lebih jauh telah dibahas oleh Henri Lefebvre dalam bukunya The Production of Space. Oleh karenanya penciptaan kondisi yang memungkinkan setiap individu yang berbeda sebagai warga kota untuk membentuk opini serta mengungkapkan kehendak dan kepentingannya, menjadi hal yang sangat penting untuk menjadikan kota sebagai tempat yang layak bagi kehidupan warganya secara berkesinambungan. Dalam hal inilah posisi ruang publik menjadi sangat penting karena berperan sebagai media untuk menampung kondisi dan peluang tersebut. Kota tidak akan pernah selesai dalam menampilkan eksistensinya. Wajah dan tatanan kehidupan di dalamnya selalu berproses melalui pergumulan berbagai kepentingan.

Upaya mengalokasikan aktivitas yang menjalankan denyut nadi suatu kota akan terus berkembang secara kreatif. Oleh karenanya upaya penentuan peruntukan lahan kota dengan sistem zoning yang ketat serta mekanistik dalam waktu yang sangat lama, tidak akan dapat diterapkan dengan mudah. Bahkan apabila dipaksakan, akan menyebabkan kota akan kehilangan eksistensinya yang pada akhirnya juga akan dapat menurunkan kualitas hidup di dalamnya. Konsensus menjadi kata kunci untuk menjadikan kota sebagai tempat yang layak bagi setiap warga yang hidup di dalamnya. Konsensus yang adil hanya dapat diperoleh melalui proses komunikasi dan dialog yang terbuka serta terlepas dari diskriminasi, represi, dan konfrontasi. Hal ini menjadi nyata terlihat, ketika berbagai bentuk rencana kota yang ditawarkan secara top-down tanpa melalui proses pencapaian kesepakatan bersama lebih sering mengalami kegagalan dan harus senantiasa direvisi karena tidak pernah memberi solusi yang tepat dilapangan.

Warga kota sebagai pihak yang secara langsung menjalani produk rencana tersebut selalu diposisikan sebagai objek yang tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam penentuan kebijakan yang menyangkut dengan kehidupan mereka sendiri. Terkait dengan hal tersebut, diskursus tentang ruang publik akan semakin berkembang karena menjadi alat untuk mencapai konsensus yang dimaksud.

Mendefinisikan Kembali Ruang Publik Sesuai dengan penjelasan di atas, upaya penyediaan ruang publik menjadi tidak terhenti hanya pada proses menginternalisasi suatu bentukan geometris yang terukur dengan batasan tertentu dalam suatu satuan wilayah yang dapat diakses atau ‘dimiliki’ oleh semua pihak. Tetapi lebih jauh lagi, penyediaan ruang publik juga harus dapat dilakukan sebagai upaya merepresentasikan ruang – dalam arti yang luas – berdasarkan fungsi yang diembannya untuk mewujudkan keseimbangan dalam tatanan kehidupan di dalam wilayah dimana ia berada.

Keseimbangan yang dimaksud terkait dengan proses penyaluran aspirasi, ekspresi, opini, maupun kehendak atau keinginan warga kota secara keseluruhan dalam nuansa yang egaliter, inklusif, dan toleran. Disamping itu, keseimbangan tersebut juga dapat dikaitkan dengan proses pencapaian konsensus bersama oleh warga kota yang heterogen untuk menciptakan tatanan kehidupan yang diinginkan bersama. Secara umum fungsi ruang publik di atas sejalan dengan petunjuk Stephen Carr yang menyatakan bahwa ruang publik setidaknya harus memenuhi tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.

Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas serta dengan konteks sosial. Dalam pengertian yang paling konvensional sekalipun seperti yang dingkapkan oleh Leon Krier, dimana ruang publik dimaknai sebagai tempat terbuka yang terbentuk dari dari street (jalan) dan square (alun-alaun), ketiga hal tersebut di atas juga harus dipenuhi. Apabila tidak, ruang publik hanya akan menjadi lapangan yang idle dan cenderung menjadi ‘penampungan’ kegiatan-kegiatan illegal yang dapat mengganggu citra atau bahkan aktivitas kota secara keseluruhan.

Ruang publik sebagai ruang yang dimiliki bersama tempat dimana warga kota dapat menikmati kebersamaannya, harus dapat merepresentasikan kolektivitas dan keinginan bersama. Namun dilain pihak ruang publik juga harus mampu menampilkan perbedaan yang ada secara adil dalam wajah kebersamaan dan bukan menafikannya dengan cara menyeragamkan atau memanipulasi keadaan. Oleh karenanya sebagaimana diungkapkan oleh Marco Kusumawijaya, mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang publik meski dewasa ini tempat­tempat tersebut sering dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan seusai menghadapi berbagai rutinitas pekerjaan. Karena meskipun terbuka untuk umum, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana di dalamnya orang yang ada di sana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu.

Ruang publik juga baru akan memiliki arti yang sebenarnya ketika ia tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan publik tetapi juga ikut dijaga dan dikelola oleh publik itu sendiri. Hal ini tidak berarti mengecilkan peran serta pemerintah, hanya saja keterlibatan publik yang lebih besar diperlukan untuk menjamin terlaksananya proses penataan ruang publik yang lebih demokratis sebagai ruang diskursus untuk mencapai konsensus daripada sekadar sebagai tempat untuk bertemu. Dengan demikian, ruang publik akan menjadi saksi perjalanan kehidupan kota dalam melewati sejarah dan peradabannya dengan langsung menyentuh dan berkomunikasi dengannya. Hal ini pada akhirnya akan meneguhkan identitas kota tersebut sebagai ruang bagi masyarakat modern yang demokratis, kritis, dan logis.

Ruang Publik bagi Publik Satu hal yang harus disadari bahwa memang tidak akan pernah ada kehidupan publik yang tidak terbatas atau mampu merepresentasikan seluruh pihak. Kehidupan publik senantiasa bertingkat-tingkat dan tergantung pada struktur politik dan kekuasaan yang hidup pada jamannya. Hal ini tentunya akan mempengaruhi keberadaan ruang publik sebagai ruang bagi semua warga terutama yang menyangkut dengan besaran atau lingkup publik yang didukungnya (Kusumawijaya, 2000).

Meski demikian, penyediaan ruang publik haruslah merupakan proses maksimalisasi lingkupan akomodasi yang dilakukan secara berterusan sehingga seolah-olah membentuk kurva limit. Dimana yang menjadi garis limitnya adalah tertampung dan terakomodasinya seluruh kepentingan publik untuk mencapai konsensus bersama. Publik di sini tidak hanya diartikan sebagai masyarakat, tapi representasi seluruh pihak yang merupakan warga kota, baik dia pengusaha, pegawai pemerintah, pedagang kaki lima maupun ibu rumah tangga sekalipun. Upaya mengakomodasi kepentingan publik untuk mencapai konsensus sebagaiman dimaksud di atas dapat dilakukan apabila ruang publik tidak hanya diciptakan sebagai wadah dengan berbagai fasilitasnya tetapi juga disertai dengan sistem yang menyertainya.

Sistem tersebut ditujukan untuk memastikan bahwa di dalam ruang tersebut dapat berlangsung berbagai proses kegiatan yang terkait dengan kepentingan publik itu sendiri. Mulai dari kegiatan penampungan aspirasi publik, penyaluran ekspresi publik, pensosialisasian opini publik, sampai pada proses pengawasan dan pengendalian kepentingan publik. Namun tentu saja pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut harus memiliki aturan main yang jelas dan mengikat semua pihak yang juga merupakan hasil kesepakatan publik. Dengan demikian setiap orang tidak akan sembarangan memanfaatkan ruang publik untuk kepentingan­kepentingan sendiri dan mampu mengembangkan sikap toleran serta menghargai orang lain sebagimana menghargai diri sendiri.

Melalui sikap-sikap seperti itu pulalahlah sebuah kota hidup sebagai kota dan bukan sebagai kota yang pada hakikatnya hanya sebuah kampung yang meraksasa. •


D. Ary A. Syamsura, Peneliti URDI

Daftar Pustaka • Carr, Stephen; Public Space; Van Nostrand Reinhold Company; New York; 1992.
• Kusumawijaya, Marco; Jakarta Tunggang Langgang; ; Jakarta; 2004
• Krier, Leon; Architecture and Urban Design; Thames and Hudson; London; 1992.
• Levebvre, Henry and Harley, David; The Production of Space; Blackwell Publishers, Oxford, 1991.
• Manuel Castells, Finale, End of Millennium (The Information Age: Economy, Society and Culture); Blackwell Publishers, Oxford, 1998.
• Tonnies, Ferdinand; Community and Society: Gemeinschaft und Gesellschaft, translated and edited by Charles P.Loomis; The Michigan State University Press, Michigan; 1957.


catatan :
Tulisan ini diambil dari web URDI

Rabu, 13 Februari 2008

MAKNA HALTE/THE HALT

Ayo cepat Nak nanti telambat !” teriak seorang Bapak berada diatas mobil masih belum berhasil menyalakan mesin.
Masih dengan sepatu yang sebelah belum ditali anaknya bergegas keluar rumah sambil menyahut “Iya Pak, tunggu !”.
Gruwek ! terdengar pintu mobil tertutup tidak bisa rapat. “Duduknya agak ke tengah entar jatuh” …curerek…grem…grem mesinpun hidup dan mobil berjalan pelan. “Gasnya tekan terus pak, supaya tidak mogok” anaknya kuatir kalau kalau mogok dijalan. Maklum mobil tahun 80 an yang mestinya sudah disekrap. pinta Bapaknya seraya mencolokkan kunci untuk yang kesekian kali dan akhirnya

Mereka adalah Bapak & Anak yang tinggalnya di Tiban Koperasi. Bapaknya akan berangkat kerja ke Batam Centre sekaligus mengantar Anaknya sekolah di SD Tiban BTN. Diantara perjalanan terdapat 2 halte yang selalu menimbulkan kemacetan.

Waduh Pak, bakal macet !. lihat disana tidak ada pak Polisi !.” kata anaknya. Begitulah analisa anak-anak, kalau tidak ada pak Polisi jalan macet, kalau ada pak Polisi jalan lancar.
“Mosok sih !, coba perhatikan kenapa disetiap halte terjadi macet?” Bapaknya malah bertanya.
“Sebabnya di halte banyak berkumpul orang dan kendaraan !”
Mosok sih !, banyak pula tempat seperti itu toh tidak macet !“ sergah Bapaknya.
Kalau begitu mungkin penumpang atau sopirnya yang seenaknya!” jawab anaknya mulai menyalahkan.
Mosok sih !, seenaknyapun kalau ada pak Polisi juga lancar !” sergah Bapaknya lagi.
Kurang rambu-rambu Paaak“ anaknya mulai emosi merasa jawabannya tidak ada yang benar.
“Mosok sih !, tidak ada rambu-rambupun kalau ada jalur khusus juga lancer !” kali ini sambil tersenyum Bapaknya menjawab.

Tak berapa lama kemudian tiba-tiba anaknya tertawa “Ha ha ha, desainnya yang salah“ merasa jawaban kali ini akan benar.
“Mosok sih !, desainnya sudah benar kok, karena di halte sudah disediakan parking bay (antrian) untuk 2 mobil, sehingga mobil yang ketiga dan seterusnya antrinya di jalan dan inilahyang membuat macet !“.

Anaknya bingung mendengar jawaban Bapaknya, katanya desainya benar akan tetapi malah membuat macet.

Halte / the halt dalam kamus berarti pemberhentian. Konsep desainnya barangkali berangkat dari arti ini, sehingga keberadaan halte benar-benar sukses membuat kendaraan berhenti, tak terkecuali pengguna jalan sekaligus !.
Ya apa mau dikata, desain halte hanya benar dari sisi harafiahnya saja akan tetapi salah dalam aplikasinya.

“Berhenti, berhenti pak, sudah sampai” dan tanpa pamit anaknya berlari kerena sudah terlambat. Ada rasa bangga pada anaknya ternyata cukup kritis dalam mengamati suatu masalah.

Tukang seloroh memaknai bahwa cukup anak SD untuk mengurai variable-variable penyebab kemacetan sebagai input desain Halte. Barangkali perencananya lupa ya ?


Joni – Arif., arsitek sedang berseloroh

PAGAR ALUN-ALUN ENGKU PUTRI

Dalam skala kota, alun-alun mempunyai peran sebagai ruang pengikat berbagai fasilitas yang berbeda seperti fasilitas perkantoran, peribadatan maupun fasilitas komersial / perdagangan. Pola semacam ini telah ada sebelum jaman penjajahan Belanda dahulu kala dan tipologinya masih dijumpai diberbagai kota besar di Indonesia, tak terkecuali di kota Batam.

Dilihat dari tata masa yang ada, alun alun di Batam berfungsi sebagai pengikat Kantor Otorita Batam, Pemerintah Kota, Masjid Raya dan Mega Mall. Jadi tidaklah begitu salah bila ada keinginan bahwa alun alun di kota Batam dikondisikan seperti alun alun yang lain yaitu pyur dibuka untuk masyarakat luas. Supaya tidak nyleneh !

Alun-alun juga berfungsi sebagai sarana yang menampung berbagai kegiatan baik yang bersifat formal maupun nonformal atau sebagai tempat komunikasi sosial masyarakat luas.

Dari keseluruhan perannya, menunjukan bahwa alun-alun berpredikat sebagai “ruang publik”.
Lantas bagaimana jika alun alun diberi pagar ? Yang tahu persis tentunya bukan tukang yang membangun, tetapi yang punya ide, iya to ?.Dan mari kita telusuri indikasinya kenapa dipagar !.
Pagar mempunyai fungsi utama sebagai pembatas. Tujuan yang ingin dicapai pemagaran adalah membentuk “ruang private”.

Dalam kontek ini, pembentukan “ruang private” dengan sendirinya akan memunculkan rambu-rambu tertentu yang harus ditaati publik untuk dapat masuk kedalamnya.Mengambil pengertian tersebut diatas, pemagaran akan bisa dipahami untuk hal-hal yang bersifat kepemilikan, perelindungan sesuatu yang berharga walaupun bersifat umum seperti pemagaran makam atau juga untuk keperluan keselamatan, misalnya supaya tidak masuk jurang.
Pemagaran alun-alun adalah hal yang kontradiktif bila tidak mengandung unsur kepemilikan & perlindungan perlindungan tertentu. Pemagaran hanya akan memberikan kesan adanya keinginan untuk merubah alun-alun sebagai “ruang publik” menjadi “ruang private”.
Kalau sudah demikian maka yang terasa adalah adanya kesan aneksasi terhadap “ruang publik” atau eksklusifisme yang tidak pas.

Pengaturan salah satu pintu masuk lebih dominan dari yang lainnya, akan memperkuat indikasi bahwa diposisi pintu itulah seolah-olah pemiliknya, walaupun barangkali keinginannya tidaklah demikian.

Pemagaran alun-alun toh bisa saja tetap mempertahankan “ruang publik” tanpa harus emosi. Cara yang lebih bijaksana bila bukaan / akses untuk masuk dibuat berimbang pada semua sisi tanpa adanya pintu gerbang.

Joni – Arif, Arsitek sedang berseloroh

KOTA DALAM MAKET......

master plan Kota Singapura dalam maket. Saatnya batam juga dibikin dalam format maket . Letakan di City Hall, pelototin tiap hari...karena setiap hari akan ditambahkan bangunan baru yang dibangun sesuai dengan IMB. Akan kelihatan dengan jelas apakah ada kolusi dengan kebijakan tata ruang? Ataukah semua berjalan anggun bak penari balet? Ataukah ruang hijau malah jadi obyek pertarungan politis dan bisnis yang dengan busuk merampas pabrik oksigen kita?

Langkah kecil


Langkah kecil sudah terlanjur ditapakkan. Keringat belum mulai menetes. jadi jahat kalau malah jadi mundur bahkan hilang. Mumpung masih pagi. Pelangi perbedaan masih cukup padat dan memabukkan. Masalah masih sangat mengakar. Tunjukan dedikasi anda dengan -minimal-membuka blog ini. Lebih mboys kalo juga urun dengan tulisan - opini- apa saja yang relevan dengan visi forum. Saduran juga boleh dengan menunjukan identitas dari mana dicomot. Semua bisa dikirim ke : sidipo@gmail.com.
terima kasih.




admin Forum Arsitek Batam

satu lagi dari ridwan kamil

FORGOTTEN SPACE:

FENOMENA KORIDOR JALAN YANG TERABAIKAN SEBAGAI RUANG PUBLIK KOTA
BISAKAH ruang jalan memotivasi lahirnya masyarakat kota yang santun, beradab dan madani? Mengapa koridor-koridor jalan di kota kita tidak mampu menjadi latar dari interaksi sukarela antar kelas sosial warga kota?

Pertanyaan-pertanyaan di atas lahir akibat hilangnya potensi peran sosial dari sebuah koridor jalan di konteks urban. Di negera-negara berkembang, sering terlihat bagaimana koridor-koridor jalan tersebut acap kali terreduksi fungsinya menjadi alur lalu lintas kendaraan bermotor semata. Hal ini sering berdampak pada terabaikannya jalur-jalur pedestrian di koridor jalan tersebut. Di kota yang berorientasi pada mobil seperti Jakarta, keberadaan hak manusia atas ruang kota yang sehat dan laik secara fisik, sering kali tersisihkan. Jalur pejalan kaki yang sempit, terputus-putus, gersang, panas, berdebu, dan tidak manusiawi adalah sederetan alasan mengapa jarang ada warga kota yang mau berinteraksi sosial secara sukarela.

Di lain pihak, ketimbang berinvestasi pada sistem transportasi publik yang massal, investasi infrastruktur kota seringkali lebih difokuskan pada investasi penambahan atau pelebaran koridor jalan baru untuk menampung beban kendaraan yang makin meningkat. Konsep yang meniru perkembangan sub-urban di Amerika ini sebenarnya sudah terbukti sering menuai masalah pelik urban di kemudian hari. Kontroversi Busway dan mahalnya investasi Subway di kota Jakarta adalah buah dari miskonsepi tersebut.
Car-oriented Development ini selain mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak terkira juga menghasilkan social cost yang luar biasa. Rutinitas kemacetan di Jakarta bisa mengakibatkan hilangnya waktu-waktu produktif lebih dari 700 jam dalam setahun. Selain itu, tidak adanya ruang-ruang yang manusiawi di koridor jalan, mengkibatkan potensi interaksi sosial di ruang publik tersebut pun hilang.

Fenomena di atas, secara umum bermuara prinsip-prinsip perencanaan kota modern yang lahir sejak deklarasi CIAM di Athena yang dimotori oleh Le Corbusier (1929). Salah satu diktumnya adalah memisahkan dengan tegas koridor jalan untuk mobil dan pejalan kaki. Ia mengemukakan, “ Streets are obsolete notion,” “No pedestrian will ever again meet a high-speed vehicle.” Akibatnya koridor jalan hanya difokuskan sebagai ruang teknis semata dan melupakan peluangnya sebagai ruang sosial. Dengan kata lain, terjadi ketimpangan dalam konsepsi klasik street as path and place seperti diungkap Christopher Alexander (1977). Tidaklan heran jika kritik sosiolog Jane jacobs (1965) terhadap sebagain kota-kota Amerika yang anti sosial ini masih relevan sampai sekarang. Relevan karena konsep tadi masih sering ditemui di kota-kota besar di sebagian besar negara berkembang di Asia. Kawasan Pudong di Shanghai, kawasan Segitiga Emas di Jakarta, kawasan bisnis di Manila adalah contoh­contohnya. Bahkan Jane Jacobs menteorikan bahwa ruang publik utama kota adalah koridor jalan dan jalur-jalur pedestriannya. Kehidupan sosial yang terjadi di koridor jalan itulah yang menjadi denyut nadi peradaban masyarakat urban.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kehidupan di koridor jalan yang baik jika ia bersifat self regulating, dimana kualitas fisik dan sosial terjaga akibat dari kombinasi kontrol sosial warga, perancangan fisik yang baik dan tata guna lahan yang mendukung terjadinya interaksi dan ekspresi sosial. Dalam buku Dalam penelitian arsitek Jan Gehl (1996) dari Denmark, terdapat beberapakategorisasi aktivitas masyarakat urban sebagai pengguna ruang publik kota. Pertama adalah ‘necessity activities’, di mana warga kota biasanya melakukan aktivitas di ruang publik, karena suatu keharusan. Contohnya pedagang kakilima di jalur pejalan kaki, atau keterpaksaan pengguna angkutan umum untuk berjalan kaki ke pemberhentian terdekat. Dalam konteks keterpaksaan ini, biasanya kualitas spasial dan fisik ruang terbuka ini, biasanya tidaklah terlalu dihiraukan. Berikutnya ‘optional social activities’, di mana wargakota pada dasarnya mempunyai hasrat untuk melakukan aktivitas publik atau interaksi sosial secara sukarela. Contohnya makan siang di ruang luar, window shopping, bersepeda santai, jalan-jalan sore ataupun duduk-duduk santai di ruang terbuka kota dan di jalur pejalan kaki. Untuk kategori ini biasanya aspek kualitas fisik, kenyamanan dan keamanan dari ruang publik selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan keberhasilan aktivitas sukarela ini.

Dalam menciptakan ruang publik di koridor jalan yang ramai dengan aktivitas sosial, terdapat 3 prinsip dasar yang melahirkan kondisi positif tersebut :

1. Densitas yang optimal : Pada dasarnya koridor jalan yang penuhdengan bangunan umumnya lebih berpotensi sebagai pedestrian generatoryang akan melahirkan keaktifan sosial yang ramai dan menyenangkan.

2. Tata Guna Lahan yang mendukung : Tata guna lahan yang berorientasi pada publik seperti halnya jasa/perdagangan umumnya sangat membantu dalam mengaktifkan kegiatan publik di koridor jalan.

3. Koridor Jalan yang didesain dengan baik dan cermat :Koridor jalan haruslah didesain sangat spesifik mengikuti karakter sosial, ekonomi dan budaya lokal. Sudah terbukti seperti terekam dalam buku Great Streets (1993), bahwa koridor jalan yang yang dedesain dengan cermat umumnya menjadi ruang publik yang dominan dan seringkali menjadi tujuan wisata baik lokal maupun internasional.


Sementara itu, dalam fenomena hilangnya aktivitas sosial di koridor jalan di kota-kota besar Indonesia seperti halnya Jakarta, selain kurangnya perhatian terhadap desain dan kualitas ruang publik, terdapat beberapa aspek arsitektural yang sering kita temui sehari-hari yang umumnya bersifat anti urban dan dan anti sosial:

1. Garis Sempadan (setback) yang jauh
Secara konsep, lahirnya peraturan garis sempadan adalah untuk memastikan ada jarak yang cukup antara ruang publik ke ruang privat. Ini awalnya ditujukan untuk bangunan hunian atau pemerintahan/militer yang membutuhkan privasi tinggi yang dalam perkembangannya konsep sempadan ini secara membabi buta diterapkan untuk segala tipologi bangunan.

Akibatnya sangat fatal. Arsitekturpun menjadi mundur terasing dari konteksnya. Ia menjauh dari hakikatnya sebagai elemen urban. Ia mematikan lahirnya interaksi sosial warga kota di koridor jalan tempat arsitekur itu berdiri. Tidak ada interaksi spasial antara arsitektur dan warga kota sebagai pilihan berkegiatan santai di konteks urban. Tidak pula eksis para urban flanuer ala Charles Baudelaire. Contohnya begitu berlimpah. Kualitas lingkungan urban di kawasan bisnis Sudirman atau Kuningan,

2. Konsep ‘drop-off’ untuk segala tipologi bangunan
Satu lagi salah kaprah dalam konsep arsitekur yang membawa kehancuran bagi kehidupan urban yang kondusif adalah pemaksaan adanya drop-off di setiap lobi bangunan. Konsep drop-off, baik yang berkanopi (porte chochere) atau tidak, awalnya dikonsepkan untuk kemudahan tipologi hotel dimana tamu umumnya tidak membawa kendaraan sehingga lazim dijemput oleh mobil dan di drop di depan lobi hotel.

Namun di kota-kota besar di Indonesia, konsep drop-off hotel ini ternyata dipaksakan untuk diterapkan di semua tipologi bangunan. Hal ini diperburuk oleh mentalitas para pemilik mobil di kota kita yang umumnya ingin diperlakukan sebagai raja atau tamu yang malas sekali pergi ke jalan samping atau basemen. Sebuah mentalitas buruk yang memperparah kondisi urban realm yang sudah busuk.

Padahal di kota-kota dengan budaya urban yang matang, konsep drop-off ini jarang digunakan, dan kalaupun ada biasanya menggunakan jalan samping atau dibuatkan di basemen. Konsep ini bisa kita cermati di banyak gedung-gedung di Manhattan atau di kawasan bisnis di Singapura atau Central Hong Kong.

3. Parkir kendaraan bermotor di halaman depan
Bukti bahwa mobil lebih terhormat kedudukannya ketimbang manusia di konteks urban, bisa kita lihat dimana-mana. Ketimbang memberi ruang yang berkualitas untuk publik, memberikan ruang depan untuk parkir mobil ternyata tetap jadi pilihan nomor satu.
Kondisi anti urban ini juga sering diperburuk dengan kemacetan kota, dimana trotoar yang sudah sempit pun sering dipakai oleh pedagang kaki lima dan dijadikan jalur alternatif oleh motor-motor nakal saat macet akut menghadang.

Bahkan di kawasan Kota di Jakarta, trotoar publik juga sering direbut oleh parkir-parkir mobil ilegal, sehingga lengkaplah sudah marjinalisasai para pejalan kaki di kawasan urban ini

Pantaslah interaksi antar kelas sosial warga kota tidak pernah terjadi. Peluang dan hak urban-nya direbut oleh interaksi mati kendaraan bermotor. Tidak juga heran jika konsep klasik arsitek Roger Trancik (1986) tentang membludaknya ruang-ruang kota mubazir dan negatif yang ia kategorikan sebagai lost space dan junk space masih berlaku di kota-kota besar kita

4. Ketidakadaan ‘urban linkage’ dan dominasi fungsi-fungsi non publik di lantai dasar
Pentingnya konsep bertetangga yang baik di lingkungan kota untuk manusia juga berlaku untuk arsitektur. Sekalinya berdiri di konteks urban, maka arsitektur harus berperilaku positif terhadap konteksnya yang lebih besar. Saat ini kota-kota kita didominasi oleh ‘look at me archi tecture’ yang egois dan hampir tidak pernah memiliki keterkaitan dengan bangunan-bangunan di sebelahnya. Konsep egois pembangunan parsial atau ‘parcel-by-parcel development’ ini bermuara pada terputusnya sirkulasi publik yang menerus dan nyaman.

Hal di atas juga diperburuk sebagian besar fungsi-fungsi di lantai dasar yang cenderung tidak bersifat publik. Hal ini berakibat pada matinya kegiatan koridor urban di sore maupun malam hari. Kehadiran fungsi publik yang esensial seperti halnya restoran dan cafĂ© pun malah umumnya menempati lantai­Salah satu kota yang ideal dari konsep ‘urban linkage’ atau ketertautan urban ini adalah kota Hong Kong. Ia menerapkan berlapis-lapis sarana sirkulasi urban antar bangunan yang nyaman. Dari mulai koneksi antar lobi bangunan yang bisa dilalui publik sampai jembatan-jembatan di lantai atas yang menghubungkan puluhan bangunan di kawasan bisnisnya.

5. Punahnya arkade sebagai elemen sirkulasi urban tropis
Merancang lingkungan urban yang kondusif di iklim tropis yang intens, bukanlah perkara mudah. Terlindung dari terik matahari dan hujan tanpa mengurangi intensitas aktivitas urban adalah kondisi ideal yang sulit dicari saat ini di kota-kota besar di Indonesia. Salah satu elemen arsitektur urban ideal untuk merespon kondisi ini adalah arkade, berupa koridor pejalan kaki beratap yang sekarang ini sudah jarang kita temui lagi.

Di beberapa distrik urban historis di kota-kota besar di Asia Tenggara, sebenarnya bisa kita temui arsitektur ber-arkade ini. Elemen urban tropis ini eksis di sebagian kawasan Braga Bandung, juga di kawasan historis Tanjong Pagar di Singapura yang sangat intens dengan konsep ruko ber-arkadenya. Saat hujan lebat dan panas terik, pengunjung Tanjong Pagar masih bisa berjalan-jalan dengan nyaman dan menyenangkan tanpa terinterupsi oleh buruknya cuaca.

Impian-impian tentang masyarakat urban yang guyub dan madani sepertinya masih berada jauh di garis horison kenyataan. Koridor jalan masih sering diperlakukan sebagai ruang teknis semata, seperti halnya saluran utilitas yang. Disamping itu arsitektur kota sebagai salah satu elemen urban ternyata seringkali berdiri dan berpikir sendiri. Ia tidak menjadi latar yang memotivasi pergaulan urban. Ia malah seringkali mematikan benih-benih interaksi sosial, sehingga keburukan konsep berarsitektur pun akhirnya menjadi norma keseharian masyarakat urban.

Mudah-mudahan masih ada sebaian dari kita yang menyadari pentingnya nilai-nilai sosial urban yang bisa lahir melalui interaksi sosial di koridor jalan dan sikap berarsitekur yang pro urban dan ‘socially contextual’. Hidup di negeri keluh kesah seperti Indonesia ini, memang harus dilawan oleh nafas-nafas kecil optimisme, karena jika bukan kita yang memulai, lantas siapa?


M. Ridwan Kamil, Assoc. AIA, Urban Design/Planning Consultant di Hongkong/Singapura/Cina dan Dosen di Jurusan Arsitektur & Perancangan Kota ITB

referensi :
• Alexander, C. Ishikawa, S. and Siverstein, M. (1977). Patern Language: Towns, Buildings, Construction. Oxford. Oxford University Press

• Gehl, J;. and Gemzoe (1996). Public Space Public Life. Copenhagen. Danish Architectural Press

• Jacobs, A.B. (1993). Great Streets, Cambridge, Mass: MIT Press

• Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities. New York: Vintage Books

• Lynch,K. (1960) The Image of the City. Cambridge Mass. MIT Press

• Le Corbusier (1929) reprinted 1971. The City of To -morrow and Its Planning. London. The Architectural Press.

• Madanipour, Ali (1996). Design of Urban Space: An Inquiry into a Socio-spatial Process. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.

• Trancik, R. (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design. New York. Van Norstrand Reinhold

• Whyte, W (1980). The Social Life of Small Urban Space. Washington DC. Conservation Foundation


catatan :
tulisan ini diambil dari web site URDI

KEJAHATAN ARSITEK ATAU KEJAHATAN ARSITEKTUR?

J A H A T

Issue :Kalimat yang sangat menarik dari paragraph terakhir dari tulisan ArielHeryanto di Kompas dengan judul JAHAT: "Jangan-jangan orang yang paling awal paham semua ini adalah Raam Pujabi. Dari studionya tercipta film dan sinetron yang menghibur jutaan pembantu rumah tangga dan buruh migran kita. Karya-karya hiburan itu dicemooh banyak orang sekolahan tinggi yang merasa cerdas dan yakin bahwa negeri mereka tidak sebodoh dan seangker dunia yang ditampilkan di layar bioskop dan televisi".

Pertanyaan :Apakah ada arsitektur yang dikategorikan dalam JAHAT – KEJAHATAN –PENJAHAT karena arsitektur sudah tidak lagi menjadi milik bagi kebanyakan orang ?
Diskusi :Ridwan Kamil dalam tulisannya " Merebut Ruang yang Hilang" telah melakukan kritik terhadap Ruang Kota dimana dia mengatakan bahwa :
[1] Kelompok kaya hidup jauh meninggalkan heterogenitas dari kota.
[2] Estetika visual telah mendominasi pengalaman ruang kota
[3] Kapitalisme membagi struktur kota dalam struktur keruangan yang ter-divided (poor vs rich)
[4] Mall yang bertebaran telah menjadi dinding pemisah antara kelompokmiskin dan kaya.
[5] Fungsi sosial dari kehidupan di Jalan telah direduksi menjadi`pseudo passage`.
[6] Kota telah disusupi dengan ruang-ruang tak bermakna
[7] Sindrom `architecture of fear'`- ruang kota telah dibangun dalam`batas-batas` berlabelkan keamanan.[8] Hilangnya konsep `penetration passage`

Kritik yang dilakukan oleh Ridwan Kamil ini mengingatkan kita pada Plato dalam Republic IV yang pernah mengatakan bahwa sebuah kota walaupun kecil selalu saja terbagi menjadi divisi-divisi, misalnya antara kelompok kaya dan miskin. Akan menjadi baiklah kota itu bila kitadapat mengurangi gap antara divisi-divisi itu dalam ruang kota itu.


Kapitalisme juga dianggap sebagai `biang kerok` yang membuat kota-kotamenjadi lebih terpisah. Berkembangnya Mall sebagai simbol kapitalisme dianggap telah menjadi contoh antara bagaimana masyrakat menjadi lebih terpisah. Dominasi mobil-mobil mewah pribadi bersamaan dengan metromini telah menjadi saksi bagaimana sebuah Jalan telah membangun struktur masyarakat menjadi terpisah. Rumah bertembok beton dan berpagar besi dengan Satpam di depannya telah menjadi saksi bisu tentang bagaimana hilangnya konsep neighbourhood.
Malls – Real Estate – Mercy adalah produk dan milik para orang`cerdas` yang menganggap produk-produk ini akan mengisi ruang kota menjadi sesuatu yang ideal. Pasar Rakyat – Kampung – Metromini adalah milik rakyat bawah yang telah dibangun berdasarkan ruang dan waktu untuk mengisi kebutuhan hidupnya.

Malls – Real Estate dan Mercy adalah Film Hollywood, yang perlu karcis untuk menontonnya di bisoskop 21. Pasar Rakyat – Kampung - Metromini adalah Raam Pujabi, yang dapat ditonton secara gratis tetapi berdesakan di kantor kelurahan.

Malls – Real Estate – Mercy adalah produk yang sedang membangun dunianya menjadi dirinya sendiri – mereka dapat kita anggap `Jahat`karena mereka membangun class – group – cluster dalam homogenetitas. Mereka kita anggap `Jahat` karena telah menghancurkan lokalitas dan identitas warga kelas bawah. Mereka kita anggap `Jahat` karena bukan milik kebanyakan orang, mereka milik orang-orang `terdidik`, `cerdas`, `touch screen` dan `Starbuck`.

Arsitektur akan menjadi `Jahat` ketika dia telah lupa akan `estetika yang demokratik` sebuah estetika yang dibangun dari kebutuhan masyarakat bawah sebagai pemakai ruang di kota. Arsitektur akanmenjadi `Jahat` ketika dia menganggap dirinya cerdas, karena dapat menghasilkan ruang melalui layar komputer.

Arsitektur itu menjadi `Jahat` ketika dia membangun kemewahan di atas kemiskinan. Arsitekturitu menjadi `Jahat` ketika dia lupa bahwa 90% bangunan di dunia ini dirancang tanpa arsitek. Arsitektur akan menjadi `Jahat` ketika dia menjadi tidak terbuka. Arsitektur itu menjadi `Jahat` ketika dia menjadi sangat besar. Arsitektur itu menjadi `Jahat` ketika dia tidak lagi menjadi `sinetron` bagi para pembantu rumah tangga dan buruh migran kita.

Akhirnya seperti kata Ridwan Kamil Arsitektur menjadi `Jahat` ketika dia dirancang hanya sebagai wadah atau cangkang bagi permainan geometris.

AS
Life is unique

catatan :
tulisan ini saya dapat dari teman saya Imam Mardi Yuana di jakarta. Entah dipungut dari mana...tapi lebih dari itu semoga ini menjadi cermin bagi kita.

Selasa, 12 Februari 2008

RTRW

Kadangkala ditemukan peristiwa segar kayak susu. Seperti kayak gini...bersinggungan dengan mahkluk yang terlanjur diberi nama RTRW. (Rencana Tata Ruang dan Wilayah). Ini terkait dengan seorang oknum Broker lahan yang KATANYA deket dengan salah satu ketua OB dulu...hingga dengan gampang mendapatkan lahan di batam dan dengan cepat dipindah tangankan dengan modus Kuasa Mengurus, menjual, menjaminkan, membangun, merusak, mengobrak-abrik.....

ini cerita tentang Peruntukan lahan. Mantan bos saya dapat lahan dari Oknum tadi. Kemudian ada masalah di peruntukan. Maunya bos jadi peruntukan jasa. Si Petualang lahan (PL) mendapat draff dengan peruntukan perumahan...ini masalah kan.
saya kemudian omong ke bos : Bos, ini kalau peruntukan diubah akan ada masalah di RTRW...(waktu itu tahun 2003 masalah RTRW lagi hangt di OB, Pemko dan Dewan).

Oknum Petualang lahan dengan Penampilan sangar, gelang emas segede jempol kaki ngomong dengan lagak sok tahu :
Ketua RT sama RW mana itu yang bikin masalah, biar aku sikat nanti.....!!!

halah......RT RW mana lagi ini......

Renungan hari itu :
akses, jumlah materi , tidak ada korelasi dengan jembarnya wawasan

Sangrila Informal Meeting-Sekupang, embrio Forum Arsitek Batam

satu hari..adakah beda dengan hari -hari yang lain? langitnya sama...udara sama...keringat sama...seandainya beda itu mungkin di maknanya...seperti hari itu...sabtu sembilan februari dua ribu delapan...2 hari setelah perhelatan tahun imlek dengan shio tikus yang lagi berkuasa. Tidak banyak malah...12 orang....tidak elegan malah..lokasinya....pinggir sebuah danau tadah hujan yang (sayang) dipagar BRC. satu persatu oknum datang, sapa, salaman, sedikit gojek ndeso ( sebagian beretnis jawa...). kemudian pembicaraan mulai agak 'nggenah'. Ada ungkapan hati, keprihatinan, harapan, joke..joke mengalr lancar. Semakin mengerucut. kadang agak dlewer. Tapi gak apa-apa. Intinya kita punya visi sama. Bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Bahwa perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata (terima kasih buat iwan fals untuk kata-kata itu). Bahwa forum ini bukan titik, bukan koma, tapi titik dua, yang harus dilanjutkan dengan barisan visi-dedikasi-dan karya.

secangkir kopi o....


secangkir kopi.....
orang jawa bilang....CangKir...nyenCang piKir...membuhulkan pikiran
Kadang Pikiran perlu diendapkan...biar kental...bisa untuk digelindingkan kayak bola karet.
Mungkin kayak forum ini...???