Rabu, 20 Februari 2008

KORIDOR -KORIDOR YANG TIDAK MANUSIAWI

SEORANG arsitek Amerika Serikat, Daniel Solomon mengungkapkan pengalamannya yang paling menyebalkan sebagai pejalan kaki di Jakarta. "Hal itu adalah ketika saya terpaksa harus menggunakan taksi untuk menyeberang di Jalan Sudirman yang jaraknya tidak lebih dari 30 meter-an," keluh Daniel.

Mungkin sebagian orang akan tertawa kecut dan sinis mendengarnya. Sebab keluhan soal ketidakmanusiawian lingkungan fisik Jakarta, memang menjadi santapan yang lumrah dan biasa saja. Namun bagi Daniel yang terbiasa berjalan-jalan di kota-kota besar dunia-yang umumnya menomorsatukan para pejalan kaki-pengalamannya di Jalan Sudirman tadi sungguh sangat mengejutkannya.

Di kota yang mendewakan mobil seperti Jakarta, keberadaan hak manusia atas ruang kota yang sehat dan laik secara fisik, sering kali tersisihkan. Jalur pejalan kaki yang sempit, terputus-putus, gersang, panas, berdebu, dan tidak manusiawi adalah sederetan alasan mengapa jarang ada warga kota yang mau berinteraksi dan menyelami ruang kota di koridor-koridor jalan dengan rela hati. Kalaupun ada, umumnya aktivitas warga kota golongan sederhana yang sering terjebak jerat keterpaksaan.

Di Jakarta, deretan gedung megah yang sebagian dirancang arsitek kelas dunia di sepanjang kawasan bisnis utama pun ternyata tidak mampu memberi sumbangan berarti dalam menciptakan ruang koridor jalan yang sehat dan manusiawi. Umumnya gedung-gedung itu selalu mengambil jarak sempadan yang jauh dan memaksakan konsep entrance dan exit dari jalan utama, yang kemudian terbukti memotong-motong jalur pejalan kaki yang sudah sangat sempit. Sempadan yang jauh ini, kemudian secara revolusioner menggiring pada punahnya keberadaan konsep arkade (gang beratap) yang sebenarnya cocok untuk sirkulasi urban di iklim tropis seperti halnya di Jakarta.

Sementara itu, ruang koridor jalan di kota megalopolis dunia seperti Manhattan di New York, biasanya terdefinisi secara positif oleh bangunan pencakar langit bersempadan nol. Selain mendefinisikan ruang kota secara positif, konsep sederhana desain urban ini juga berdampak pada teduhnya jalur pejalan kaki, serta menempatkan fungsi retail atau komersial di lantai dasar serta menerapkan konsep entrance dan exit dari jalan samping.

Dengan stimulus desain urban ini, tidaklah heran jika waktu makan siang tiba, ribuan manusia dari segala kelas sosial rela hati untuk berjubel dan berdesak-desakan berinteraksi di jalur pejalan kaki yang lebar dan teduh, lengkap dengan aktivitas window shopping-nya.

BERAGAM dampak negatif yang sering lahir dari buruknya kualitas spasial koridor jalan, juga lahir dari pola pikir sebagian besar perencana dan pengelola kota yang biasanya melihat keberadaan ruas jalan sebagai engineering space semata untuk mengakomodasi angka-angka aliran kendaraan bermotor. Ruas-ruas jalan seperti ini juga umumnya hanya direncana berdasarkan standar teknis dan jarang didesain secara baik untuk menjadi sebuah ruang sosial yang mampu mengundang warga untuk turun berinteraksi sosial secara suka rela.

Dari sudut pandang sejarah kota dunia pun, sebenarnya ruang interaksi sosial masyarakat urban yang utama, bukan hanya terjadi di plaza terbuka, namun justru sering kali mengambil tempat di koridor jalan kota. Dalam buku klasik 'Great Streets', Allan B Jacobs secara gamblang menyatakan jalan yang masuk dalam klasifikasi 'great streets', biasanya selalu memiliki kualitas spasial istimewa dan umumnya sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial dan beraktivitas urban yang sehat.

Mulai dari keeksotikan koridor jalan Las Ramblas di Barcelona, keunikan Malioboro di Yogya sampai kemeriahan Market Street di San Francisco. Kesemuanya menjadi cerminan wajah kota yang lebih manusiawi dan livable. Bahkan tidak jarang, ruang linear jalan pun sering kali menjadi salah satu landmark kebanggaan warga kota, seperti halnya The Champs Elysees di Paris, ataupun Orchard Road di Singapura.

MENURUT penelitian arsitek Jan Gehl dari Denmark, sebenarnya terdapat beberapa kategorisasi aktivitas masyarakat urban sebagai pengguna ruang publik kota, termasuk ruang koridor jalan. Pertama adalah 'necessity activities', di mana warga kota biasanya melakukan aktivitas di ruang publik, karena suatu keharusan. Contohnya pedagang kaki lima di jalur pejalan kaki, atau keterpaksaan pengguna angkutan umum untuk berjalan kaki ke pemberhentian terdekat. Dalam konteks keterpaksaan ini, biasanya kualitas spasial dan fisik ruang terbuka ini, biasanya tidaklah terlalu dihiraukan.

Berikutnya 'optional social activities', di mana menurut Gehl, warga kota pada dasarnya mempunyai hasrat untuk melakukan aktivitas publik atau interaksi sosial secara sukarela. Contohnya makan siang secara outdoor, window shopping, bersepeda santai, jalan-jalan sore ataupun duduk-duduk santai di ruang terbuka kota, ataupun di jalur pejalan kaki. Untuk kategori ini biasanya aspek kualitas fisik, kenyamanan dan keamanan dari ruang publik selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan keberhasilan aktivitas sukarela ini.

Mencermati kategorisasi Gehl di atas, tidaklah mengherankan jika di Kota Jakarta, sebagian besar aktivitas warga di ruang-ruang publik kota, masih didominasi oleh aktivitas jual-beli para pedagang kaki lima dan keseharian warga kelas sederhana lainnya yang sering terlihat berjalan merengut kepanasan di jalur pejalan kaki. Dengan kualitas ruang kota di Jakarta yang umumnya tidak aman dan tidak nyaman ini, maka mimpi bisa berbaurnya beragam kelas sosial masyarakat Jakarta di ruang publik, tampaknya tetap menjadi ilusi yang mahal.

Tidaklah mengherankan juga, jika karakter psikologis sebagian warga di Jakarta cenderung keras, cuek dan gampang marah. Hal itu karena pada umumnya mereka terbiasa disuguhi oleh tontonan kerasnya perjuangan menyambung hidup dan minimnya ruang publik dan jalan kota yang dapat menjadi oasis interaksi sosial yang bisa menyejukkan pikiran dan meneduhkan hati.


M. Ridwan KaMIL

Catatan :
Admin akan terus konsisten untuk menyajikan tulisan dari manapun yang menngangkat isu-isu kota dan lingkungan

Tidak ada komentar: