FORGOTTEN SPACE: FENOMENA KORIDOR JALAN YANG TERABAIKAN SEBAGAI RUANG PUBLIK KOTA
BISAKAH ruang jalan memotivasi lahirnya masyarakat kota yang santun, beradab dan madani? Mengapa koridor-koridor jalan di kota kita tidak mampu menjadi latar dari interaksi sukarela antar kelas sosial warga kota?
Pertanyaan-pertanyaan di atas lahir akibat hilangnya potensi peran sosial dari sebuah koridor jalan di konteks urban. Di negera-negara berkembang, sering terlihat bagaimana koridor-koridor jalan tersebut acap kali terreduksi fungsinya menjadi alur lalu lintas kendaraan bermotor semata. Hal ini sering berdampak pada terabaikannya jalur-jalur pedestrian di koridor jalan tersebut. Di kota yang berorientasi pada mobil seperti Jakarta, keberadaan hak manusia atas ruang kota yang sehat dan laik secara fisik, sering kali tersisihkan. Jalur pejalan kaki yang sempit, terputus-putus, gersang, panas, berdebu, dan tidak manusiawi adalah sederetan alasan mengapa jarang ada warga kota yang mau berinteraksi sosial secara sukarela.
Di lain pihak, ketimbang berinvestasi pada sistem transportasi publik yang massal, investasi infrastruktur kota seringkali lebih difokuskan pada investasi penambahan atau pelebaran koridor jalan baru untuk menampung beban kendaraan yang makin meningkat. Konsep yang meniru perkembangan sub-urban di Amerika ini sebenarnya sudah terbukti sering menuai masalah pelik urban di kemudian hari. Kontroversi Busway dan mahalnya investasi Subway di kota Jakarta adalah buah dari miskonsepi tersebut.
Car-oriented Development ini selain mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak terkira juga menghasilkan social cost yang luar biasa. Rutinitas kemacetan di Jakarta bisa mengakibatkan hilangnya waktu-waktu produktif lebih dari 700 jam dalam setahun. Selain itu, tidak adanya ruang-ruang yang manusiawi di koridor jalan, mengkibatkan potensi interaksi sosial di ruang publik tersebut pun hilang.
Fenomena di atas, secara umum bermuara prinsip-prinsip perencanaan kota modern yang lahir sejak deklarasi CIAM di Athena yang dimotori oleh Le Corbusier (1929). Salah satu diktumnya adalah memisahkan dengan tegas koridor jalan untuk mobil dan pejalan kaki. Ia mengemukakan, “ Streets are obsolete notion,” “No pedestrian will ever again meet a high-speed vehicle.” Akibatnya koridor jalan hanya difokuskan sebagai ruang teknis semata dan melupakan peluangnya sebagai ruang sosial. Dengan kata lain, terjadi ketimpangan dalam konsepsi klasik street as path and place seperti diungkap Christopher Alexander (1977). Tidaklan heran jika kritik sosiolog Jane jacobs (1965) terhadap sebagain kota-kota Amerika yang anti sosial ini masih relevan sampai sekarang. Relevan karena konsep tadi masih sering ditemui di kota-kota besar di sebagian besar negara berkembang di Asia. Kawasan Pudong di Shanghai, kawasan Segitiga Emas di Jakarta, kawasan bisnis di Manila adalah contohcontohnya. Bahkan Jane Jacobs menteorikan bahwa ruang publik utama kota adalah koridor jalan dan jalur-jalur pedestriannya. Kehidupan sosial yang terjadi di koridor jalan itulah yang menjadi denyut nadi peradaban masyarakat urban.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kehidupan di koridor jalan yang baik jika ia bersifat self regulating, dimana kualitas fisik dan sosial terjaga akibat dari kombinasi kontrol sosial warga, perancangan fisik yang baik dan tata guna lahan yang mendukung terjadinya interaksi dan ekspresi sosial. Dalam buku Dalam penelitian arsitek Jan Gehl (1996) dari Denmark, terdapat beberapakategorisasi aktivitas masyarakat urban sebagai pengguna ruang publik kota. Pertama adalah ‘necessity activities’, di mana warga kota biasanya melakukan aktivitas di ruang publik, karena suatu keharusan. Contohnya pedagang kakilima di jalur pejalan kaki, atau keterpaksaan pengguna angkutan umum untuk berjalan kaki ke pemberhentian terdekat. Dalam konteks keterpaksaan ini, biasanya kualitas spasial dan fisik ruang terbuka ini, biasanya tidaklah terlalu dihiraukan. Berikutnya ‘optional social activities’, di mana wargakota pada dasarnya mempunyai hasrat untuk melakukan aktivitas publik atau interaksi sosial secara sukarela. Contohnya makan siang di ruang luar, window shopping, bersepeda santai, jalan-jalan sore ataupun duduk-duduk santai di ruang terbuka kota dan di jalur pejalan kaki. Untuk kategori ini biasanya aspek kualitas fisik, kenyamanan dan keamanan dari ruang publik selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan keberhasilan aktivitas sukarela ini.
Dalam menciptakan ruang publik di koridor jalan yang ramai dengan aktivitas sosial, terdapat 3 prinsip dasar yang melahirkan kondisi positif tersebut :
1. Densitas yang optimal : Pada dasarnya koridor jalan yang penuhdengan bangunan umumnya lebih berpotensi sebagai pedestrian generatoryang akan melahirkan keaktifan sosial yang ramai dan menyenangkan.
2. Tata Guna Lahan yang mendukung : Tata guna lahan yang berorientasi pada publik seperti halnya jasa/perdagangan umumnya sangat membantu dalam mengaktifkan kegiatan publik di koridor jalan.
3. Koridor Jalan yang didesain dengan baik dan cermat :Koridor jalan haruslah didesain sangat spesifik mengikuti karakter sosial, ekonomi dan budaya lokal. Sudah terbukti seperti terekam dalam buku Great Streets (1993), bahwa koridor jalan yang yang dedesain dengan cermat umumnya menjadi ruang publik yang dominan dan seringkali menjadi tujuan wisata baik lokal maupun internasional.
Sementara itu, dalam fenomena hilangnya aktivitas sosial di koridor jalan di kota-kota besar Indonesia seperti halnya Jakarta, selain kurangnya perhatian terhadap desain dan kualitas ruang publik, terdapat beberapa aspek arsitektural yang sering kita temui sehari-hari yang umumnya bersifat anti urban dan dan anti sosial:
1. Garis Sempadan (setback) yang jauh
Secara konsep, lahirnya peraturan garis sempadan adalah untuk memastikan ada jarak yang cukup antara ruang publik ke ruang privat. Ini awalnya ditujukan untuk bangunan hunian atau pemerintahan/militer yang membutuhkan privasi tinggi yang dalam perkembangannya konsep sempadan ini secara membabi buta diterapkan untuk segala tipologi bangunan.
Akibatnya sangat fatal. Arsitekturpun menjadi mundur terasing dari konteksnya. Ia menjauh dari hakikatnya sebagai elemen urban. Ia mematikan lahirnya interaksi sosial warga kota di koridor jalan tempat arsitekur itu berdiri. Tidak ada interaksi spasial antara arsitektur dan warga kota sebagai pilihan berkegiatan santai di konteks urban. Tidak pula eksis para urban flanuer ala Charles Baudelaire. Contohnya begitu berlimpah. Kualitas lingkungan urban di kawasan bisnis Sudirman atau Kuningan,
2. Konsep ‘drop-off’ untuk segala tipologi bangunan
Satu lagi salah kaprah dalam konsep arsitekur yang membawa kehancuran bagi kehidupan urban yang kondusif adalah pemaksaan adanya drop-off di setiap lobi bangunan. Konsep drop-off, baik yang berkanopi (porte chochere) atau tidak, awalnya dikonsepkan untuk kemudahan tipologi hotel dimana tamu umumnya tidak membawa kendaraan sehingga lazim dijemput oleh mobil dan di drop di depan lobi hotel.
Namun di kota-kota besar di Indonesia, konsep drop-off hotel ini ternyata dipaksakan untuk diterapkan di semua tipologi bangunan. Hal ini diperburuk oleh mentalitas para pemilik mobil di kota kita yang umumnya ingin diperlakukan sebagai raja atau tamu yang malas sekali pergi ke jalan samping atau basemen. Sebuah mentalitas buruk yang memperparah kondisi urban realm yang sudah busuk.
Padahal di kota-kota dengan budaya urban yang matang, konsep drop-off ini jarang digunakan, dan kalaupun ada biasanya menggunakan jalan samping atau dibuatkan di basemen. Konsep ini bisa kita cermati di banyak gedung-gedung di Manhattan atau di kawasan bisnis di Singapura atau Central Hong Kong.
3. Parkir kendaraan bermotor di halaman depan
Bukti bahwa mobil lebih terhormat kedudukannya ketimbang manusia di konteks urban, bisa kita lihat dimana-mana. Ketimbang memberi ruang yang berkualitas untuk publik, memberikan ruang depan untuk parkir mobil ternyata tetap jadi pilihan nomor satu.
Kondisi anti urban ini juga sering diperburuk dengan kemacetan kota, dimana trotoar yang sudah sempit pun sering dipakai oleh pedagang kaki lima dan dijadikan jalur alternatif oleh motor-motor nakal saat macet akut menghadang.
Bahkan di kawasan Kota di Jakarta, trotoar publik juga sering direbut oleh parkir-parkir mobil ilegal, sehingga lengkaplah sudah marjinalisasai para pejalan kaki di kawasan urban ini
Pantaslah interaksi antar kelas sosial warga kota tidak pernah terjadi. Peluang dan hak urban-nya direbut oleh interaksi mati kendaraan bermotor. Tidak juga heran jika konsep klasik arsitek Roger Trancik (1986) tentang membludaknya ruang-ruang kota mubazir dan negatif yang ia kategorikan sebagai lost space dan junk space masih berlaku di kota-kota besar kita
4. Ketidakadaan ‘urban linkage’ dan dominasi fungsi-fungsi non publik di lantai dasar
Pentingnya konsep bertetangga yang baik di lingkungan kota untuk manusia juga berlaku untuk arsitektur. Sekalinya berdiri di konteks urban, maka arsitektur harus berperilaku positif terhadap konteksnya yang lebih besar. Saat ini kota-kota kita didominasi oleh ‘look at me archi tecture’ yang egois dan hampir tidak pernah memiliki keterkaitan dengan bangunan-bangunan di sebelahnya. Konsep egois pembangunan parsial atau ‘parcel-by-parcel development’ ini bermuara pada terputusnya sirkulasi publik yang menerus dan nyaman.
Hal di atas juga diperburuk sebagian besar fungsi-fungsi di lantai dasar yang cenderung tidak bersifat publik. Hal ini berakibat pada matinya kegiatan koridor urban di sore maupun malam hari. Kehadiran fungsi publik yang esensial seperti halnya restoran dan cafĂ© pun malah umumnya menempati lantaiSalah satu kota yang ideal dari konsep ‘urban linkage’ atau ketertautan urban ini adalah kota Hong Kong. Ia menerapkan berlapis-lapis sarana sirkulasi urban antar bangunan yang nyaman. Dari mulai koneksi antar lobi bangunan yang bisa dilalui publik sampai jembatan-jembatan di lantai atas yang menghubungkan puluhan bangunan di kawasan bisnisnya.
5. Punahnya arkade sebagai elemen sirkulasi urban tropis
Merancang lingkungan urban yang kondusif di iklim tropis yang intens, bukanlah perkara mudah. Terlindung dari terik matahari dan hujan tanpa mengurangi intensitas aktivitas urban adalah kondisi ideal yang sulit dicari saat ini di kota-kota besar di Indonesia. Salah satu elemen arsitektur urban ideal untuk merespon kondisi ini adalah arkade, berupa koridor pejalan kaki beratap yang sekarang ini sudah jarang kita temui lagi.
Di beberapa distrik urban historis di kota-kota besar di Asia Tenggara, sebenarnya bisa kita temui arsitektur ber-arkade ini. Elemen urban tropis ini eksis di sebagian kawasan Braga Bandung, juga di kawasan historis Tanjong Pagar di Singapura yang sangat intens dengan konsep ruko ber-arkadenya. Saat hujan lebat dan panas terik, pengunjung Tanjong Pagar masih bisa berjalan-jalan dengan nyaman dan menyenangkan tanpa terinterupsi oleh buruknya cuaca.
Impian-impian tentang masyarakat urban yang guyub dan madani sepertinya masih berada jauh di garis horison kenyataan. Koridor jalan masih sering diperlakukan sebagai ruang teknis semata, seperti halnya saluran utilitas yang. Disamping itu arsitektur kota sebagai salah satu elemen urban ternyata seringkali berdiri dan berpikir sendiri. Ia tidak menjadi latar yang memotivasi pergaulan urban. Ia malah seringkali mematikan benih-benih interaksi sosial, sehingga keburukan konsep berarsitektur pun akhirnya menjadi norma keseharian masyarakat urban.
Mudah-mudahan masih ada sebaian dari kita yang menyadari pentingnya nilai-nilai sosial urban yang bisa lahir melalui interaksi sosial di koridor jalan dan sikap berarsitekur yang pro urban dan ‘socially contextual’. Hidup di negeri keluh kesah seperti Indonesia ini, memang harus dilawan oleh nafas-nafas kecil optimisme, karena jika bukan kita yang memulai, lantas siapa?
•
M. Ridwan Kamil, Assoc. AIA, Urban Design/Planning Consultant di Hongkong/Singapura/Cina dan Dosen di Jurusan Arsitektur & Perancangan Kota ITB
referensi :
• Alexander, C. Ishikawa, S. and Siverstein, M. (1977). Patern Language: Towns, Buildings, Construction. Oxford. Oxford University Press
• Gehl, J;. and Gemzoe (1996). Public Space Public Life. Copenhagen. Danish Architectural Press
• Jacobs, A.B. (1993). Great Streets, Cambridge, Mass: MIT Press
• Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities. New York: Vintage Books
• Lynch,K. (1960) The Image of the City. Cambridge Mass. MIT Press
• Le Corbusier (1929) reprinted 1971. The City of To -morrow and Its Planning. London. The Architectural Press.
• Madanipour, Ali (1996). Design of Urban Space: An Inquiry into a Socio-spatial Process. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.
• Trancik, R. (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design. New York. Van Norstrand Reinhold
• Whyte, W (1980). The Social Life of Small Urban Space. Washington DC. Conservation Foundation catatan :
tulisan ini diambil dari web site URDI