Jumat, 29 Februari 2008

BERITA DUKA

Telah meninggal dunia dengan tenang Ayahanda dari Sdr Ir. Arief Abadi ( Bagian Perencanaan OB, salah satu penggiat Forum Arsitek) serta Sdr. Ign. Gunawan Prasetyo ( Arsitek dan Pengurus IAI Kepri) pada hari Kamis 28 Februari 2008 pukul 03.00 dini hari.

Segenap penggiat Forum Arsitek mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya. Semoga Amal Ibadah Almarhum diterima Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan mendapatkan ketabahan. Amien Allahumma Amien...



Forum Arsitek Kepri

Kamis, 28 Februari 2008

AGENDA FORUM ARSITEK KEPRI

AGENDA PERTEMUAN FORUM ARSITEK

DENGAN DINAS TATA KOTA BATAM

I. IMB

1. Kepastian waktu proses dan rentang waktu . Contoh kasus : OB 2 minggu, Tanjung Balai Karimun 2 minggu, Semarang maksimal 1 bulan, Sragen 1 minggu. Sedangkan Kimpras memberikan batas waktu pengurusan 62 hari , tetapi realitanya bisa lebih dari 6 bulan.

2. Kepastian standar teknis (muatan dan kriteria baik dari segi arsitektural, struktural dan ME).

3. Ketidak jelasan tentang agenda pemeriksaan lapangan.=

4. Ketidakjelasan tentang presentasi IMB

5. Keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia)

6. Ketidak jelasan terhadap beban biaya pengurusan

7. Hasil Pemutihan IMB yang diterbitkan sertifikat SBPMB

II. RTBL

1. Pembuatan RTBL sebenarnya beban siapa? (kajian tentang dasar hukum tentang herarki RTBL dalam struktur tata ruang kota). Sesuai dengan Pasal 93 Perda Kota Batam No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Batam.

2. Yang selama ini terjadi RTBL hanya menjadi legalisasi terhadap Dokumen DED ( Detail Engineering Design) yang sudah dibuat oleh investor, sehingga kedudukan RTBL hanya menjadi pelengkap perijinan IMB.

3. Kajian RTBL harus selalu terkait dengan kajian lingkungan

4. Beban biaya di luar biaya resmi terlalu besar dan tidak wajar

III. AMDAL

1. Penunjukan konsultan AMDAL menjadi obyek sampingan oknum pemerintah

2. Beban biaya di luar biaya resmi yang terlalu besar dan tidak wajar

3. Kajian AMDAl hanya merupakan pelengkap perijinan IMB

4. Terkait no. 1 , banyak kajian AMDAL yang tidak standar dan merupakan produk kopian

IV. SIBP (Surat Ijin Bekerja Perencana )

1. SIBP yang dikeluarkan dalam Perda IMB tidak mempunyai bobot hukum terkait dengan jasa konsultansi pemerintah (lihat pasal 9 ayat 1, UU jasa Kontruksi No. 18 tahun 1999).

2. SIBP arsitek yang diterbitkan oleh Pemko dengan rekomendasi dari IAI tidak diakreditasi oleh LPJK, sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai Penanggung Jawab perencana dan pengawas Kontruksi.

3. Persyaratan SKA dalam jasa konsultansi dapat dijadikan pertimbangan untuk mengkaji keberadaan SIBP (dimungkinkan dihapuskan persyaratan SIBP dalam perijinan IMB).

4. Dalam pengajuan IMB untuk proyek-proyek pemerintah masih diperlukan SIBP sedangkan di dalam proses pengadaan jasa konsultansi , tenaga ahli yang diminta tidak ada persyaratan SIBP, karena yang disyaratkan adalah Sertifikat keahlian (SKA) sesuai dengan Undang-Undang Jasa Kontruksi.

V. SBPMB

1. Perlu dipertanyakan sejarah SBPMB ke Otorita Batam

2. Di Batam terdapat dua jenis Sertifikat bangunan, IMB dan SBPMB

3. SBPMB digunakan sebagai sertifikat bangunan menyalahi Perda No. 2 tahun 2002 tentang IMB karena SBPMB hanyalah surat bukti bahwa bangunan sudah sesuai dengan IMB , yang tentunya tidak dapat dijadikan dasar penarikan restribusi.

4. Isi SBPMB cacat hukum karena :

a. Menyebutkan sesuai fatwa planologi, padahal fakta dilapangan belum tentu sesuai dengan Fatwa Planologi

b. Berita Acara Pemeriksaan Lapangan yang digunakan sebagai dasar diterbitkan SBPMB TIDAK BERNOMOR , ( melanggar surat Negara).

c. Dipertanyakan hasil dari Pemeriksaan Lapangan terkait dengan Pelaksanaan pekerjaan Struktur , ME , Arsitektur, Fatwa Planologi seperti apa ?

d. Terjadi pengalihan hak perhitungan KDB atau luas lantai bangunan secara sepihak dari Otorita Batam ke Tim Pelayan Aktif IMB (Kimpras dan IAI).

e. SBPMB bukan produk hukum dalam perda IMB

5. Perlu Klarifikasi terhadap legalitas SBPMB pada lembaga hukum ( notaris) dan pada perbankan, terkait dengan kemungkinan tidak berlakunya SBPMB untuk berbagai kepentingan , yang dapat merugikan masyarakat sebagai SBPMB

6. Aspek Hukum yang mendasari kerja sama instansi pemerintah dengan pihak ke 3 yang notabene bukan merupakan badan usaha

7. Mekanisme kontrol perhitungan restribusi yang dilakukan oleh pihak ke 3 bentuknya seperti apa, dan bagaimanakah proses birokrasi yang menyangkut kas Negara dilakukan oleh pihak ke 3 ?

VI. PERAN ARSITEK DALAM PROSES PEMBANGUNAN

1. Memposisikan arsitek sebagai partner aktif :

a. Memberikan bantuan saran dan ide

b. Fungsi Kontrol

c. Pembinaan dan peningkatan SDM

d. Stake holder dalam pembangunan kota

2. Dewan Penasehat Kota

a. Memberikan keseimbangan terhadap beberapa lembaga instansi teknis terkait dengan pembangunan kota

b. Sebagai partner pemerintah dalam perumusan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan Kota Batam

c. Sebagai lembaga independen yang dapat memberikan masukan dalam berbagai kebijakan tentang pembangunan kota

d. Unsur yang bisa menjadi anggota Dewan Penasehat Kota adalah elemen masyarakat terutama dari para professional pembangunan Kota dan bukan bukan dari birokrat.

3. Sayembara Desain

a. Latar belakang Sayembara desain :

1. Kebutuhan sebuah desain ruang publik

2. Carut marut arsitektur kota yang miskin identitas

3. Memperkenalkan Kota Batam dalam satu sisi

4. Tidak adanya karya arsitektur yang membanggakan

b. Tujuan :

1. Untuk mendapatkan produk desain yang lebih berkualitas dengan skala yang lebih luas

2. Menjaring karya terbaik dari masyarakat luas

3. Aktualisasi profesionalitas lebih bisa diterima

c. Metode :

1. Pembentukan kepanitiaan dan sekretariat

2. Publikasi nasional melalui media cetak dan elektronik

3. Penjurian yang independen dan berkompenten

4. Penjaringan peserta dari elemen masyarakat akademis dan professional

5. Hasil karya terbaik dipresentasikan dihadapan Pemerintah kota Batam dan public

6. Karya pemenang dan peserta akan dipamerkan oleh Forum Komunikasi Arsitek Kepri

d. Produk Sayembara

1. Laporan perencanaan dan perancangan

2. Gambar prarencana dan impression 3 D

3. Format penyajian berwarna dengan program computer dalam format A3

e. Biaya

1. Dari Pemko Kota Batam cq. Dinas Tata Kota

2. Sponsor yang tidak mengikat

3. Individu yang peduli

f. Waktu Pelaksanaan

1. 90 hari kerja

FORUM ARSITEK KEPRI

Minggu, 24 Februari 2008

arsitek?

Arsitek PDF Cetak E-mail

(Tulisan berjudul Arsitek yang ditulis oleh almarhum Y.B. Mangunwijaya ini diambil dari milis IAI 24 November 2007 yang lalu, dikirimkan oleh Erwinthon P. Napitupulu)

Arsitek
oleh Y.B. Mangunwijaya
Kompas, 16 September 1993

Profesi arsitek di Indonesia masih baru. Di zaman sebelum perang dunia II di Technische Hoge School (THS) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) hanya ada yang disebut jurusan Sipil, di mana Bung Karno dulu pernah menjadi mahasiswa. Di THS negeri Belanda di Delft hanya ada jurusan yang disebut Bouwkunde (Ilmu Bangunan) yang menghasilkan arsitek-arsitek juga, tetapi lebih condong ke ilmu bangunan sipil. Kata sipil diambil dari sebutan kata civiel atau diterjemahkan sekarang: bangunan kepentingan masyarakat alias bangunan umum. Profesi arsitek pada dasarnya tidak lahir dari kalangan universitas atau perguruan tinggi, tetapi dari iklim magang para arsitek profesional di sanggar-sanggar, karena lebih digolongkan dalam profesi seni rupa. Arsitek-arsitek agung sebelum perang dunia II dan yang selalu memberi wajah serba baru kepada dunia bangunan sesudah kehancuran umum dunia maju 1945 seperti Mies van der Rohe, Groupius, Corbusier, kalau tidak salah Kenzo Tange juga, bukanlah sarjana-sarjana lulusan universitas, tetapi orang-orang genius buah sanggar-sanggar "swasta" yang dididik langsung oleh masyarakat arsitek dan kreativitas pribadi. Seperti pelukis dan pematung, seniman tekstil dan sebagainya. Di Jerman memang ada lembaga pendidikan desainer termashur yang bernama Bauhaus (Rumah Bangunan) yang secara integral dan total mencakup pendidikan segala cabang seni. Tetapi Bauhaus justru tidak ingin akademik. Inspirasi dasar Bauhaus adalah kehidupan riil masyarakat, khususnya perpaduan antara keperluan sehari-hari dan dunia serba baru yang sedang dicangkokkan ke dalam masyarakat, yakni dunia khas industrial. Yang punya filsafat hidup, budaya, dan selera yang sangat khas, sangat berlainan dari dunia budaya agraris.

Dari sejarah kebudayaan di mana pun memang kita melihat, bahwa arsitek, pelukis, pematung, para seniman dalam seni-bentuk memang adalah "putra-putri masyarakat", bukan alumni perguruan tinggi formal. Bahkan di barat, hasil seni dari dunia akademi justru dilecehkan sebagai seni yang tidak otentik. Akademis artinya: buruk, klise, tidak inspiratif, tiruan, dan sebagainya yang negatif. Pertanyaan akademis juga bernada negatif: mengada-ada, tidak praktis, tidak hidup, tidak relevan. Walaupun di zaman antik, pertanyaan akademis justru bernilai metafisik yang tinggi. Tetapi, zaman industri yang dinapasi iptek memang lain problematika hidupnya.

Belum diakui penuh
Sebetulnya tidak sangat berbeda dari profesi-profesi lain yang semula belajar dari praktik kehidupan masyarakat, seperti ilmu ketabiban. Para sinsei di timur, timur tengah, dan barat belajar lewat proses magang dari para guru dan suhu di tengah masyarakat. Baru kemudian datanglah fakultas-fakultas kedokteran pada perguruan-perguruan tinggi formal. Ini sangat berhubungan dengan sifat dan proses birokratisasi juga yang tak terelakkan dalam masyarakat yang semakin canggih pengorganisasiannya.
Tetapi, dokter sudah (terpaksa) dihargai masyarakat. Arsitek belum. Orang sakit berakal sehat atau terpelajar datang ke dokter tidak dengan tuntutan minta pil kapsul ini, suntikan itu, mendikte si dokter obat apa yang harus diberikan agar dia sembuh. Tetapi kepada arsitek orang datang dengan seperangkat permintaan dan pendiktean sesuka selera. Harus seperti gedung ini dari Amsterdam, minta jendela seperti di Hongkong, harus pakai tiang ini dari Yunani dan harus meniru bentuk-bentuk yang "tidak kalah dengan" Singapura dan seterusnya. Arsitek bahkan dianggap lebih rendah daripada dukun, karena kepada dukun sekalipun orang tidak mendiktekan resep.

Mungkin karena pada pemberi order itu kebudayaannya masih belum beranjak dari demang despotik di zaman kolonial yang masih kelewat agraris, sehingga mereka bergaya seperti petani dungu yang sukanya mendikte dokter agar jangan diberi pil, tetapi disuntik saja biar cepat sembuh. Tetapi mungkin juga di arsitek belum dipercaya kemampuannya, dan membuktikan diri memang belum punya pendirian dan filsafat desain yang kuat sehingga tidak meyakinkan. Namun, boleh jadi orang punya suatu pemahaman tentang arsitektur yang keliru. Sehingga hasilnya adalah arsitektur murahan bahkan "kampungan" yang biasanya gado-gado asal comot sana comot sini karena memang itu yang diminta pemberi order. Kalau tidak memuaskan beliau-beliau, ditakutkan nanti tidak mendapatkan order basah dari klien yang kuasa, kaya baru tetapi tidak intelek, dan budayanya masih kampungan. Jadi praktis kriterianya: uang dan kemumpungan. Sampai terjadi, arsitektur Gedung Dewan Pertimbangan Agung di Jakarta berbentuk luar bahkan warnanya pun pleg-persis dengan gedung-gedung berarsitektur Germania Hitler, buah hasil retorika, patetik, dan patologis Menteri PU Nazi Albert Speer. Aneh, tetapi bagi yang tahu psikologi, sebetulnya tidak tidak aneh juga.

Maka harapan kita ingin berbudaya dan berkepribadian secara benar kepada para arsitek Indonesia, ialah: sudilah jangan main imitasi doang. Sudilah memberanikan diri menjadi dokter atau paling tidak dukunglah yang tidak mau serba didikte oleh klien atau pasien. Dan sumbangkanlah the best yang Anda punyai, yang Anda pelajari selama studi yang panjang. Jadilah seorang yang profesional dan jangan mau menjadi penyalur ide-ide suka pamer secara ngawur dari orang-orang yang biar punya duit dan kuasa, tetapi tidak paham budaya dan selera mulia.

Tidak mudah memang menghadapi orang yang tidak intelek dan tidak berperasaan halus, akan tetapi dokter yang sejati pun akan mengikuti tanggung jawab profesional dan hati nuraninya. Sebab semakin arsitek menjadi budak order, semakin martabat profesi arsitek merosot juga, dan semakin dilecehkan. Tukang roti atau koki jauh lebih tahu mana yang enak dan bergizi daripada sembarang awam. Memang masih sulit dan berat, tetapi akhirnya ini soal mati hidupnya profesi arsitek. Di negara maju arsitek juga bukan orang yang sembarang mau didekte dan hanya mengikuti pemberi order. Negeri kita pun akhirnya juga akan maju dan semakin berintelek. Kemarau panjang memang tidak enak, akan tetapi tidak ada situasi yang abadi. Oleh karena itu siapa selain arsitek sendirilah yang harus merintis akhirnya kemarau panjang ini. Sendirian sulit, tetapi mudah-mudahan secara bersama dalam Ikatan Arsitek Indonesia hal ini akan lebih dapat dipermudah.

Sebaliknya masyarakat juga perlu tahu, bahwa sejak zaman dahulu dan di sepanjang sejarah bangsa manusia khususnya bangsa-bangsa yang besar dan kreatif, arsitektur bukan cuma soal selera asal comot atau lonjakan-lonjakan nafsu belaka. Arsitektur adalah ekspresi dan wahana suatu kebudayaan, dalam pikir alam cita-cita dan ungkapan langsung paling jelas, bagaimana suatu masyarakat berfilsafat hidup dan menangani kehidupan. Secara benar ataukah ngawur? Punya kepribadian ataukah saling menjiplak? Semrawut atau punya batang pendirian yang kokoh? Berselera tinggi ataukah asal pinjam baju orang lain? Dan sebagainya. Memang susahnya istilah arsitektur adalah warisan barat yang diambil justru pada saat merosotnya pemahaman arsitektur di sana. Arsitektur (dari akar kata Yunani arche = yang sejati, yang asli, dan tektoon = yang stabil) datang dari dunia mencuatnya ilmu bangunan sipil. Belum menyatakan dimensi-dimensi kebudayaan dan realilitas kehidupan yang lebih riil dan lebih mulia. Kata Sanskrit vasthu atau di-Indonesia-kan wastu (dalam bahasa jawa kuna artinya: bangunan) jauh lebih memadai yang arti aslinya lebih kaya, berunsur, bernorma kehidupan, kesejatian, pengejawantahan bentuk dari prinsip-prinsip yang absolut, rencana komperehensif, sesuai dengan hierarki kehidupan, dan sebagainya. Diterjemahkan dengan bahasa modern: form giving in its totality. Dari bentuk sendok, periuk atau selot kunci, kloset WC, gergaji, kendaraan, jalan, dan barang-barang sehari-hari lain, rumah, gedung umum, istana, kampung, toko, pelabuhan, bengkel, sampai pada tata desa, tata kota, tata wilayah, tata negara, dan tata dunia. Total, komprehensif, holistik, sekaligus mendetail, yang makro dan bentuk yang paling mikro dari berbentuknya realitas total kehidupan manusia dan masyarakat. Dalam arti, menjelang tahun 2000 istilah wastu jauh lebih relevan daripada arsitektur.

Maka sebetulnya dalam kampus jurusan arsitektur telah terjebak historis dimasukkan ke dalam fakultas teknik. Mestinya ke dalam fakultas ilmu-ilmu politik atau ilmu-ilmu kemasyarakatan. Di situlah ilmu wastu akan mendapat tempat yang paling wajar, karena sangatlah erat hubungannya dengan segala yang menata dan membentuk masyarakat. Dan yang akan menemukan relevansinya yang paling benar sebagai salah satu komponen konstitutif dari kebijakan yang lebih luas, memberi bentuk yang paling relevan dan pas bagi seluruh kehidupan real demi masyarakat yang relevan dan pas pula dengan kebudayaan hidupnya.

Tetapi memang, banyak variabel warisan sejarah yang masih sangat menghalang-halangi suatu renovasi yang cocok dengan kodrat permasalahan. Tetapi bolehlah untuk zaman sekarang dan mendatang letak jurusan arsitektur dalam dunia kampus terlanjur salah, asal saja para arsitek tidak salah meletakkan diri.

(disadur dari milis IAI 24 November 2007; pengirim: Erwinthon P. Napitupulu)

KARYA UNGGULAN