Kamis, 14 Februari 2008

RUANG PUBLIK UNTUK PUBLIK

RUANG PUBLIK BAGI PUBLIK

Ruang Publik dan Perkembangan Kota Diskursus tentang ruang publik sepertinya tidak akan pernah habis seiring dengan dinamika publik itu sendiri yang terus berubah. Dalam hal ini, publik sebagai suatu entitas tidak dapat diartikan sekedar dengan istilah ‘masyarakat umum’ yang merepresentasikan suatu kepentingan saja. Tetapi harus dapat dipahami pula bahwa publik merupakan kumpulan dari entitas-entitas independen yang memiliki pendapat, kepentingan, maupun karakteristik masing-masing yang sering satu sama lain tidak bersesuaian bahkan saling bertentangan.

Pada kondisi seperti ini, pembahasan ruang publik akan semakin kompleks karena menyangkut pada upaya sinergisasi atau proses pencapaian konsensus dari berbagai kepentingan tersebut. Sebagai salah satu unsur terpenting dalam struktur ruang kota secara keseluruhan, ruang publik tidak dapat dilepaskan dengan proses perkembangan kota itu sendiri. Kota yang merupakan satuan organik karena terus tumbuh melalui hasil ‘kompromi’ dari berbagai heterogenitas yang hidup di dalamnya, memiliki ciri dan karakteristik yang khas dimana setiap individu yang berbeda memiliki posisi yang sama penting dalam menentukan arah kebijakan bersama. Bahkan ciri inilah yang sebenarnya menjadi pembeda utama antara kota (urban) dan desa (rural) yang secara esensial lebih bersifat homogen, terepresentasikan dalam wujud komunal dan bukan individual, serta terikat oleh tali persaudaraan/kekeluargaan yang kuat (kinship). Bahkan Aristoteles menyatakan bahwa “Kota terbentuk dari berbagai macam manusia, kelompok manusia yang sama tidak dapat mewujudkan eksistensi kota.”

Perbedaan atau diversitas sebagai karakteristik kota tersebut, lebih jauh telah dibahas oleh Henri Lefebvre dalam bukunya The Production of Space. Oleh karenanya penciptaan kondisi yang memungkinkan setiap individu yang berbeda sebagai warga kota untuk membentuk opini serta mengungkapkan kehendak dan kepentingannya, menjadi hal yang sangat penting untuk menjadikan kota sebagai tempat yang layak bagi kehidupan warganya secara berkesinambungan. Dalam hal inilah posisi ruang publik menjadi sangat penting karena berperan sebagai media untuk menampung kondisi dan peluang tersebut. Kota tidak akan pernah selesai dalam menampilkan eksistensinya. Wajah dan tatanan kehidupan di dalamnya selalu berproses melalui pergumulan berbagai kepentingan.

Upaya mengalokasikan aktivitas yang menjalankan denyut nadi suatu kota akan terus berkembang secara kreatif. Oleh karenanya upaya penentuan peruntukan lahan kota dengan sistem zoning yang ketat serta mekanistik dalam waktu yang sangat lama, tidak akan dapat diterapkan dengan mudah. Bahkan apabila dipaksakan, akan menyebabkan kota akan kehilangan eksistensinya yang pada akhirnya juga akan dapat menurunkan kualitas hidup di dalamnya. Konsensus menjadi kata kunci untuk menjadikan kota sebagai tempat yang layak bagi setiap warga yang hidup di dalamnya. Konsensus yang adil hanya dapat diperoleh melalui proses komunikasi dan dialog yang terbuka serta terlepas dari diskriminasi, represi, dan konfrontasi. Hal ini menjadi nyata terlihat, ketika berbagai bentuk rencana kota yang ditawarkan secara top-down tanpa melalui proses pencapaian kesepakatan bersama lebih sering mengalami kegagalan dan harus senantiasa direvisi karena tidak pernah memberi solusi yang tepat dilapangan.

Warga kota sebagai pihak yang secara langsung menjalani produk rencana tersebut selalu diposisikan sebagai objek yang tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam penentuan kebijakan yang menyangkut dengan kehidupan mereka sendiri. Terkait dengan hal tersebut, diskursus tentang ruang publik akan semakin berkembang karena menjadi alat untuk mencapai konsensus yang dimaksud.

Mendefinisikan Kembali Ruang Publik Sesuai dengan penjelasan di atas, upaya penyediaan ruang publik menjadi tidak terhenti hanya pada proses menginternalisasi suatu bentukan geometris yang terukur dengan batasan tertentu dalam suatu satuan wilayah yang dapat diakses atau ‘dimiliki’ oleh semua pihak. Tetapi lebih jauh lagi, penyediaan ruang publik juga harus dapat dilakukan sebagai upaya merepresentasikan ruang – dalam arti yang luas – berdasarkan fungsi yang diembannya untuk mewujudkan keseimbangan dalam tatanan kehidupan di dalam wilayah dimana ia berada.

Keseimbangan yang dimaksud terkait dengan proses penyaluran aspirasi, ekspresi, opini, maupun kehendak atau keinginan warga kota secara keseluruhan dalam nuansa yang egaliter, inklusif, dan toleran. Disamping itu, keseimbangan tersebut juga dapat dikaitkan dengan proses pencapaian konsensus bersama oleh warga kota yang heterogen untuk menciptakan tatanan kehidupan yang diinginkan bersama. Secara umum fungsi ruang publik di atas sejalan dengan petunjuk Stephen Carr yang menyatakan bahwa ruang publik setidaknya harus memenuhi tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.

Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas serta dengan konteks sosial. Dalam pengertian yang paling konvensional sekalipun seperti yang dingkapkan oleh Leon Krier, dimana ruang publik dimaknai sebagai tempat terbuka yang terbentuk dari dari street (jalan) dan square (alun-alaun), ketiga hal tersebut di atas juga harus dipenuhi. Apabila tidak, ruang publik hanya akan menjadi lapangan yang idle dan cenderung menjadi ‘penampungan’ kegiatan-kegiatan illegal yang dapat mengganggu citra atau bahkan aktivitas kota secara keseluruhan.

Ruang publik sebagai ruang yang dimiliki bersama tempat dimana warga kota dapat menikmati kebersamaannya, harus dapat merepresentasikan kolektivitas dan keinginan bersama. Namun dilain pihak ruang publik juga harus mampu menampilkan perbedaan yang ada secara adil dalam wajah kebersamaan dan bukan menafikannya dengan cara menyeragamkan atau memanipulasi keadaan. Oleh karenanya sebagaimana diungkapkan oleh Marco Kusumawijaya, mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang publik meski dewasa ini tempat­tempat tersebut sering dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan seusai menghadapi berbagai rutinitas pekerjaan. Karena meskipun terbuka untuk umum, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana di dalamnya orang yang ada di sana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu.

Ruang publik juga baru akan memiliki arti yang sebenarnya ketika ia tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan publik tetapi juga ikut dijaga dan dikelola oleh publik itu sendiri. Hal ini tidak berarti mengecilkan peran serta pemerintah, hanya saja keterlibatan publik yang lebih besar diperlukan untuk menjamin terlaksananya proses penataan ruang publik yang lebih demokratis sebagai ruang diskursus untuk mencapai konsensus daripada sekadar sebagai tempat untuk bertemu. Dengan demikian, ruang publik akan menjadi saksi perjalanan kehidupan kota dalam melewati sejarah dan peradabannya dengan langsung menyentuh dan berkomunikasi dengannya. Hal ini pada akhirnya akan meneguhkan identitas kota tersebut sebagai ruang bagi masyarakat modern yang demokratis, kritis, dan logis.

Ruang Publik bagi Publik Satu hal yang harus disadari bahwa memang tidak akan pernah ada kehidupan publik yang tidak terbatas atau mampu merepresentasikan seluruh pihak. Kehidupan publik senantiasa bertingkat-tingkat dan tergantung pada struktur politik dan kekuasaan yang hidup pada jamannya. Hal ini tentunya akan mempengaruhi keberadaan ruang publik sebagai ruang bagi semua warga terutama yang menyangkut dengan besaran atau lingkup publik yang didukungnya (Kusumawijaya, 2000).

Meski demikian, penyediaan ruang publik haruslah merupakan proses maksimalisasi lingkupan akomodasi yang dilakukan secara berterusan sehingga seolah-olah membentuk kurva limit. Dimana yang menjadi garis limitnya adalah tertampung dan terakomodasinya seluruh kepentingan publik untuk mencapai konsensus bersama. Publik di sini tidak hanya diartikan sebagai masyarakat, tapi representasi seluruh pihak yang merupakan warga kota, baik dia pengusaha, pegawai pemerintah, pedagang kaki lima maupun ibu rumah tangga sekalipun. Upaya mengakomodasi kepentingan publik untuk mencapai konsensus sebagaiman dimaksud di atas dapat dilakukan apabila ruang publik tidak hanya diciptakan sebagai wadah dengan berbagai fasilitasnya tetapi juga disertai dengan sistem yang menyertainya.

Sistem tersebut ditujukan untuk memastikan bahwa di dalam ruang tersebut dapat berlangsung berbagai proses kegiatan yang terkait dengan kepentingan publik itu sendiri. Mulai dari kegiatan penampungan aspirasi publik, penyaluran ekspresi publik, pensosialisasian opini publik, sampai pada proses pengawasan dan pengendalian kepentingan publik. Namun tentu saja pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut harus memiliki aturan main yang jelas dan mengikat semua pihak yang juga merupakan hasil kesepakatan publik. Dengan demikian setiap orang tidak akan sembarangan memanfaatkan ruang publik untuk kepentingan­kepentingan sendiri dan mampu mengembangkan sikap toleran serta menghargai orang lain sebagimana menghargai diri sendiri.

Melalui sikap-sikap seperti itu pulalahlah sebuah kota hidup sebagai kota dan bukan sebagai kota yang pada hakikatnya hanya sebuah kampung yang meraksasa. •


D. Ary A. Syamsura, Peneliti URDI

Daftar Pustaka • Carr, Stephen; Public Space; Van Nostrand Reinhold Company; New York; 1992.
• Kusumawijaya, Marco; Jakarta Tunggang Langgang; ; Jakarta; 2004
• Krier, Leon; Architecture and Urban Design; Thames and Hudson; London; 1992.
• Levebvre, Henry and Harley, David; The Production of Space; Blackwell Publishers, Oxford, 1991.
• Manuel Castells, Finale, End of Millennium (The Information Age: Economy, Society and Culture); Blackwell Publishers, Oxford, 1998.
• Tonnies, Ferdinand; Community and Society: Gemeinschaft und Gesellschaft, translated and edited by Charles P.Loomis; The Michigan State University Press, Michigan; 1957.


catatan :
Tulisan ini diambil dari web URDI

Tidak ada komentar: